Friday, September 9, 2011

PELAKU PENUSUKAN "PSIKOPAT" : Agresifitas, kriminalitas atau gangguan jiwa

Beberapa waktu terakhir ini, di daerah istimewa yogyakarta digemparkan dengan berita tentang penusukan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada alasan yang jelas. Korban sampai saat ini telah berjumlah lebih kurang 6 orang dan 1 diantaranya meninggal dunia. Menurut sumber media elektronik dikatakan bahwa pelaku mengidap psikopat. Karena tidak ada motif yang jelas dari perbuatannya. Semua harta korban tidak diambil, dan tidak ada sangkut pautnya antara korban satu dengan yang lain.
Kejadian tersebut biasa terjadi antara pukul 4 pagi hari, mana kala korban sedang berjalan-jalan. Apabila mendengar fenomena tersebut memang terdengar miris di telinga kita, namun kembali sebagai masyarakat kita harus melakukan introspeksi diri, mengapa sampai terjadi perbuatan atau perilaku yang biadab tersebut? ada apa dengan orang tersebut? bagaimana bisa terjadi perbuatan tersebut? apakah benar pelaku adalah psikopat? ataukah kesalahan dari masyarakat sendiri yang kurang tanggap, waspada dan cenderung permisif dengan perilaku-perilaku merusak yang lain?
Mungkin masih banyak pertanyaan yang ada di dalam benak masing-masing dari kita, namun mari kita cermati satu-per satu menurut kacamata medis (psikiatrik), psikologis dan sosial.
Dalam dunia medis (psikiatri), suatu perilaku normal muncul manakala semua organ tubuh yang terlibat dalam perilaku berjalan secara normal atau dalam istilah kedokteran dikatakan fisiologis. Ini berarti bahwa masing-masing organ terkait mempunyai peranan dan fungsi yang berjalan sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Interaksi antar satu organ dengan organ yang lain pun berjalan secara dinamis dan seimbang. Dengan demikian perilaku yang muncul pun akan ada dalam batas normal atau disebut adaptif, karena apabila tubuh berjalan secara fisiologis berarti bahwa terjadi suatu peristiwa aksi reaksi yang saling menyeimbangkan (kompensatorik). Dalam perjalanan kehidupan ada kalanya seseorang membuat fungsi organ tersebut menjadi tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi tergantung dari beberapa hal seperti :
  1. Konsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak dan kolesterol, sehingga akan mengganggu stabilitas metabolisme kerja dari organ-organ vital dan pembuluh darah manusia, terlebih lagi makanan dari binatang buas yang bergigi (taring) tajam.
  2. Konsumsi minuman beralkohol, dalam kadar berapapun sebenarnya alkohol telah dapat mempengaruhi fungsi kerja organ tubuh yang berperan dalam perilaku manusia
  3. Menderita penyakit tertentu seperti diabetes, gagal ginjal, kelainan pembuluh darah, sampai kelainan genetik tertentu
  4. Konsumsi obat-obat psikotropika di luar dosis terapeutik (tanpa instruksi dokter)
  5. Pemakaian obat-obat keras lain tanpa petunjuk dokter
  6. Penggunaan heroin dan marijuana
  7. Trauma kepala hebat atau kecelakaan fisik hebat seperti terbakar lebih dari 70 %
Hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan perubahan-perubahan perilaku dikarenakan adanya perubahan fisiologi organ-organ tubuh manusia yang cenderung tidak terkonpensasi lagi.

Thursday, September 8, 2011

Duka Karena Salah Berkomunikasi

Awal cerita bermula tahun 1975 (lebih kurang 30tahun yang lalu) ketika mengalami perut mengalami nyeri di bagian kanan bawah. Kemudian berangkat lah pasien untuk memeriksakan diri di sebuah layanan kesehatan di sebuah kota besar. Setelah menjalani pemeriksaan dan tes untuk menegakkan diagnosis pasien tersebut, akhirnya diputuskan untuk melakukan pembedahan pada diri pasien. Diagnosis pada saat itu adalah radang usus buntu atau dalam bahasa kedokterannya disebut dengan appendisitis. Setelah mengalami perawatan selama beberapa hari, pasien diperbolehkan pulang dengan melanjutkan perawatan luka selama di rumah oleh keluarga pasien. Kemudian setelah beberapa lama pada saat luka telah kering, pasien kemudian bepergian ke kota asalnya (mudik), namun entah mengapa luka pada bekas jahitan operasi usus buntu tadi kembali mengeluarkan cairan seperti nanah dan luka menjadi selalu basah.
Kemudian pasien memeriksakan luka tersebut ke sebuah rumah sakit di kota asalnya. Dikatakan oleh petugas kesehatan di sana (pada waktu itu) bahwa harus kembali ke fasilitas kesehatan dimana dilakukan operasinya. Rumah sakit tersebut tidak berani mengambil tindakan apa-apa karena tidak mengetahui riwayat pembedahan yang dilakukan sebelumnya. Kemudian pasien kembali ke rumah sakit asal dimana pernah dilakukan operasi usus buntu tadi. Di fasilitas kesehatan tersebut pasien mendapat perawatan luka, dan dikatakan bahwa bisa rawat jalan dan perawatan luka bisa dilakukan di rumah.
Kemudian pasien pulang ke rumah dan melanjutkan aktifitas seperti sedia kala. Namun demikian luka tersebut tidak pernah sembuh sama sekali, masih terkadang nyeri dan kadang basah lagi. Demikian terus hingga lebih kurang 28 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2003, ketika cerita yang sebenarnya dimulai.

Derita selama 30 tahun tersebut masih belum merupakan embrio dari munculnya masalah yang sebenarnya di kemudian hari. Pada tahun 2003, ketika pasien sudah purna tugas dari pekerjaannya dan kembali ke kota asalnya, kembali pasien mengalami nyeri hebat di bekas luka operasi 30 tahun yang lalu. Pasien langsung memeriksakan diri ke Rumah Sakit Swasta di kota asalnya tersebut dan apa yang dikatakan oleh petugas medis di sana, bahwa pasien tidak mengalami apa-apa dan tidak terjadi apa-apa di perutnya. Kemudian pasien pulang dengan rasa "agak kecewa" karena pasien mengalami nyeri yang sangat di bagian perut, dan yang lebih dikecewakan pasien adalah bahwa tidak ada terapi apapun yang diberikan oleh petugas medis di rumah sakit tersebut. Pasien merasa bahwa di pulang dengan tangan hampa, meskipun nyeri nya luar biasa dirasakannya.
Sejak saat itu, bekas luka operasi usus buntu tersebut sering mengalami rasa nyeri dan timbul benjolan Awalnya hanya sebesar biji kacang, namun kemudian bertambah besar. Hingga pada tahun 2009, pasien periksa ke rumah sakit swasta yang lain (masih di kota yang sama) dan dikatakan mengalami benjolan ganas. Di sini lah ceritanya dimulai, oleh petugas medis di rumah sakit tersebut dikatakan begini "pak, bapak sendiri tahu sampai saat ini yang namanya kanker belum ada obatnya. Jadi lebih baik bapak dirawat di rumah saja". Saat itu (menurut pengakuan pasien) dirinya menjadi sangat 'down', merasa kehilangan semangat hidup, rasa tidak ada masa depan, hidup tidak ada gunanya, kecewa, sedih semuanya campur menjadi satu. Merasa tidak puas, keluarga pasien dan pasien sendiri mendatangi rumah sakit rujukan nasional di kota nya, dan ditangani lebih dari 4 tenaga ahli (menurut keluarga pasien), namun lagi-lagi keluarga pasien merasa kecewa dan lebih-lebih pasien karena semua tenaga ahli yang menangani nya sudah 'angkat tangan' dengan sakit yang dideritanya. Perasaan sedih kecewa yang mendalam semakin menjadi-jadi sampai akhirnya pasien memutuskan untuk tidak berobat ke fasilitas kesehatan karena kecewa dengan cara penyampaian para profesional kesehatan tersebut dalam memberikan keterangan tentang sakit yang dideritanya.
Bukan karena sakit yang dideritanya, tetapi kecewa karena bagaimana para petugas kesehatan tersebut menyampaikan informasi yang sangat sensitif dengan isi yang kurang sensitif. Kata-kata yang keluar dari pernyataan-pernyataan petugas medis tersebut menyebabkan pasien menjadi lebih down dan tidak bersemangat untuk mencari kesembuhan.
Hingga akhirnya pada tahun 2011 ini, pasien kembali memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit kecil di pinggiran kota karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit di perutnya. Dan apa yang ditemukan...........?!!!???? benjolan yang mulanya sebesar biji kacang tersebut sekarang telah menjadi besar sebesar kepala manusia dewasa, dan terkadang keluar cairan serta feces yang berbau busuk. Namun demikian pasien tampak menerima dengan kondisi penyakitnya, yang masih dikelukan adalah rasa kecewa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari petugas kesehatan yang membuat perasaan pasien menjadi jatuh, dan tertekan.
Terkadang pasien sedih, menangis, terkadang bicara sendiri, terkadang terganggu memorinya, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan kekecewaan yang ada pada diri pasien.

Ajining diri seka lathi lan budhi.... Omong bener lan pener....

Sedikit salah kata yang diucapkan bisa menjadi pemicu gangguan perasaan di kemudian hari. Tidak ada salahnya memperbaiki komunikasi baik dari isi maupun cara penyampaiannya. Apalagi masalah-masalah yang sensitif.


Salam Sehat Jiwa

Tuesday, September 6, 2011

"KERAS KEPALA" dan Paranoid

Dalam beberapa kasus tampak nyata bahwa orang-orang yang terkesan "keras kepala" mempunyai ciri paranoid sebelumnya. Banyak dalam keseharian kita orang-orang dengan perilaku dan peringai seperti berikut :
1. Ingin menang sendiri
2. Egois
3. Tidak mau menerima pendapat orang lain
4. Tidak mau mendengarkan orang lain
5. Tidak mau disela dalam bicara
6. Memutarbalikkan fakta dalam berbicara
7. Tidak mau mengalah
8. Terlalu percaya diri
9. Pendapatnya tidak dapat dikoreksi
10. Selalu protes dalam segala hal
11. Pandai mengarang suatu skenario sehingga orang percaya
dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut di atas seringkali oleh masyarakat awam dianggap sebagai bawaan atau ciri khas seseorang, dan sering pula bahwa orang-orang seperti itu dianggap biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi berbahaya karena anggapan masyarakat yang terlalu permisive dengan hal-hal tersebut bisa menjadi bumerang dan buah simalakama bagi kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Orang-orang dengan ciri perilaku demikian membuat tatanan masyarakat.
Pada dasarnya secara anatomi fungsional dalam perilaku, sifat-sifat tersebut apabila didiamkan akan menjadikan suatu 'neurotoksis' di dalam otak manusia, sehingga di kemudian hari menjadi suatu sifat yang permanen secara anatomis. Apabila telah terjadi demikian maka akan sangat susah untuk merubah menuju 'jalan yang benar'. Ciri-ciri perilaku seperti di atas sangat mungkin terjadi pada orang-orang yang telah mempunyai kecenderungan secara anatomi-fisiologis 'kerja otak paranoid', dimana dalam manifestasi perilakunya maka orang-orang tersebut akan menunjukkan hal-hal seperti tersebut di atas.

Take home message :
Jangan ragu menkonsultasikan segala masalah perilaku dan pikiran anda, agar kualitas hidup anda tetap terjaga baik.

Salam sehat jiwa

Monday, September 5, 2011

Neurosignalling creates mental

Jiwa atau mental adalah mekanisme kerja dari bio-anatomi, fungsional, neuro-communication dan konten dari memori dan isi pikir manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mental dapat berinteraksi dengan organ tubuh yang lain?

Sunday, September 4, 2011

PENGOBATAN JIWA ATAU MENTAL

Berbicara masalah jiwa/mental maka perlu diperhatikan dari sudut pandang mana hal itu dibicarakan. Jiwa atau mental tidak bisa dilepaskan dari persepsi secara kultural dan spiritual-agama yang telah turun temurun ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Pemahaman bahwa jiwa atau mental bersifat abstrak dan tidak dapat “dilihat” telah menjadi pengertian yang sulit sekali dipisahkan dalam pikiran masyarakat. Hampir semua golongan umur dan pendidikan mempunyai pemahaman yang hampir sama tentang mental atau jiwa tersebut. Tidak perlu terdapat penjelasan lebih lanjut apabila telah menginjak pembahasan mengenai jiwa atau mental, karena adanya ‘ketakutan’ karena persepsi keagamaan ataupun budaya masyarakat tertentu.

Sudut pandang budaya, agama, sosial dan psikologis menjadi hal yang jamak dalam pembahasan pengertian jiwa atau mental. Satu hal yang selama ini tidak pernah dipahami ataupun dimengerti tentang arti jiwa (mental) itu adalah bahwa jiwa (mental) merupakan perwujudan atau hasil dari kerja organ tubuh manusia seperti halnya fungsi ginjal, fungsi jantung ataupun fungsi paru-paru. Fungsi ginjal akan mempengaruhi penyaringan cairan di dalam tubuh manusia, fungsi jantung berfungsi dalam peredaran darah, ataupun fungsi paru-paru yang menghasilkan penyaringan udara yang dibutuhkan dalam metabolisme tubuh sehingga dapat digunakan dalam perkembangan dan pertumbuhan manusia. Demikian juga dengan jiwa manusia. Pada prinsipnya jiwa adalah hasil dari kerja otak-susunan saraf yanag terkait dengan fungsi seluruh organ manusia yang perwujudannya adalah perilaku atau kepribadian yang telah luas dikenal orang. Sudut pandang medis-psikiatris inilah yang luput dari perhatian dan pemahaman masyarakat luas bahwa berbicara masalah jiwa-mental maka harus berbicara masalah anatomi-biologi otak dan susunan saraf-organ fungsional tubuh yang lain. Yang kedua adalah faktor penyebab (stresor), isi memori manusia dan dinamika jiwa yang banyak dipelajari dalam ilmu psikologi. Dimensi ketiga adalah adanya neuro-signaling atau sering disebut dengan komunikasi antar sel saraf dan yang terakhir adalah fungsi dari masing-masing bagian otak dan susunan saraf serta organ fungisonal di seluruh tubuh manusia.

Dari pengertian di atas maka jelas lah bahwa jiwa (mental) harus dilihat dalam dimensi medis-psikiatris dan tidak cukup hanya pada pengertian budaya, sosial ataupun psikologis. Dalam perjalanan waktu dan perbedaan individual yang cukup rumit maka jiwa masing-masing orang akan berbeda satu dengan yang lain, bahkan pada 2 individu kembar identik satu telur pun akan berbeda jiwa nya karena adanya perbedaan biologik-fungsionalnya. Perbedaan-perbedaan individual tersebut membuat masyarakat harus mempunyai suatu standar atau ukuran dimana manusia pada umumnya mempunyai jiwa dengan kriteria yang sama dan terukur secara nyata sesuai dengan bio-fungsional organ tubuhnya (fisiologis). Pada suatu saat akan terdapat suatu keadaan dimana jiwa seseorang akan bekerja di luar fungsional yang seharusnya (tidak fisiologis), yang mengakibatkan terjadi keadaan patologis di kemudian hari.

Masing-masing keadaan yang non fisiologis tersebut terjadi dalam taraf dan gradasi yang bertahap/bertingkat dalam kurun waktu tertentu. Mulai dari yang paling ringan hingga berat (patologis). Dalam keadaan demikian maka jiwa perlu dikembalikan dalam kondisi yang fisiologis, agar kerja dari organ tubuhnya menjadi optimal karena terkait dengan fungsi dan kerja organ-organ tubuh yang lain.

Bagaimana mengembalikan keadaan jiwa menjadi fisiologis kembali? Maka perlu dilakukan beberapa penilaian untuk menentukan cara mengembalikan jiwa dalam keadaan yang fisiologis. Penilaian tersebut meliputi cara untuk melihat penyebab dari keadaan non-fisiologis, mekanisme non-fisiologis nya, organ yang terkait serta hasil dari keadaan non fungsional tersebut. Sehingga dapat dilakukan beberapa hal seperti berikut yaitu :

1. Farmakologis

2. Non farmakologis

Farmakologis artinya bahwa untuk mengembalikan jiwa dalam keadaan fisiologis diperlukan suatu pemberian obat-obat tertentu yang bekerja mengembalikan fungsi organ, komunikasi antar sel serta meregenerasi bagian-bagian tertentu dari organ tubuh yang diharapkan mampu untuk menata kembali fungsi organ yang terkait dengan mental tersebut.

Non farmakologis berarti bahwa pendekatan-pendekatan psiko-sosial dan bahan keagamaan-spiritual untuk menanggulangi penyebab terjadinya keadaan non fisiologis tersebut namun yang bersifat psikologis.



Kesimpulan :

Terapi farmakologis penting dalam mengembalikan keadaan fisiologis tubuh sehingga jiwa dapat terobati.