Thursday, September 8, 2011

Duka Karena Salah Berkomunikasi

Awal cerita bermula tahun 1975 (lebih kurang 30tahun yang lalu) ketika mengalami perut mengalami nyeri di bagian kanan bawah. Kemudian berangkat lah pasien untuk memeriksakan diri di sebuah layanan kesehatan di sebuah kota besar. Setelah menjalani pemeriksaan dan tes untuk menegakkan diagnosis pasien tersebut, akhirnya diputuskan untuk melakukan pembedahan pada diri pasien. Diagnosis pada saat itu adalah radang usus buntu atau dalam bahasa kedokterannya disebut dengan appendisitis. Setelah mengalami perawatan selama beberapa hari, pasien diperbolehkan pulang dengan melanjutkan perawatan luka selama di rumah oleh keluarga pasien. Kemudian setelah beberapa lama pada saat luka telah kering, pasien kemudian bepergian ke kota asalnya (mudik), namun entah mengapa luka pada bekas jahitan operasi usus buntu tadi kembali mengeluarkan cairan seperti nanah dan luka menjadi selalu basah.
Kemudian pasien memeriksakan luka tersebut ke sebuah rumah sakit di kota asalnya. Dikatakan oleh petugas kesehatan di sana (pada waktu itu) bahwa harus kembali ke fasilitas kesehatan dimana dilakukan operasinya. Rumah sakit tersebut tidak berani mengambil tindakan apa-apa karena tidak mengetahui riwayat pembedahan yang dilakukan sebelumnya. Kemudian pasien kembali ke rumah sakit asal dimana pernah dilakukan operasi usus buntu tadi. Di fasilitas kesehatan tersebut pasien mendapat perawatan luka, dan dikatakan bahwa bisa rawat jalan dan perawatan luka bisa dilakukan di rumah.
Kemudian pasien pulang ke rumah dan melanjutkan aktifitas seperti sedia kala. Namun demikian luka tersebut tidak pernah sembuh sama sekali, masih terkadang nyeri dan kadang basah lagi. Demikian terus hingga lebih kurang 28 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2003, ketika cerita yang sebenarnya dimulai.

Derita selama 30 tahun tersebut masih belum merupakan embrio dari munculnya masalah yang sebenarnya di kemudian hari. Pada tahun 2003, ketika pasien sudah purna tugas dari pekerjaannya dan kembali ke kota asalnya, kembali pasien mengalami nyeri hebat di bekas luka operasi 30 tahun yang lalu. Pasien langsung memeriksakan diri ke Rumah Sakit Swasta di kota asalnya tersebut dan apa yang dikatakan oleh petugas medis di sana, bahwa pasien tidak mengalami apa-apa dan tidak terjadi apa-apa di perutnya. Kemudian pasien pulang dengan rasa "agak kecewa" karena pasien mengalami nyeri yang sangat di bagian perut, dan yang lebih dikecewakan pasien adalah bahwa tidak ada terapi apapun yang diberikan oleh petugas medis di rumah sakit tersebut. Pasien merasa bahwa di pulang dengan tangan hampa, meskipun nyeri nya luar biasa dirasakannya.
Sejak saat itu, bekas luka operasi usus buntu tersebut sering mengalami rasa nyeri dan timbul benjolan Awalnya hanya sebesar biji kacang, namun kemudian bertambah besar. Hingga pada tahun 2009, pasien periksa ke rumah sakit swasta yang lain (masih di kota yang sama) dan dikatakan mengalami benjolan ganas. Di sini lah ceritanya dimulai, oleh petugas medis di rumah sakit tersebut dikatakan begini "pak, bapak sendiri tahu sampai saat ini yang namanya kanker belum ada obatnya. Jadi lebih baik bapak dirawat di rumah saja". Saat itu (menurut pengakuan pasien) dirinya menjadi sangat 'down', merasa kehilangan semangat hidup, rasa tidak ada masa depan, hidup tidak ada gunanya, kecewa, sedih semuanya campur menjadi satu. Merasa tidak puas, keluarga pasien dan pasien sendiri mendatangi rumah sakit rujukan nasional di kota nya, dan ditangani lebih dari 4 tenaga ahli (menurut keluarga pasien), namun lagi-lagi keluarga pasien merasa kecewa dan lebih-lebih pasien karena semua tenaga ahli yang menangani nya sudah 'angkat tangan' dengan sakit yang dideritanya. Perasaan sedih kecewa yang mendalam semakin menjadi-jadi sampai akhirnya pasien memutuskan untuk tidak berobat ke fasilitas kesehatan karena kecewa dengan cara penyampaian para profesional kesehatan tersebut dalam memberikan keterangan tentang sakit yang dideritanya.
Bukan karena sakit yang dideritanya, tetapi kecewa karena bagaimana para petugas kesehatan tersebut menyampaikan informasi yang sangat sensitif dengan isi yang kurang sensitif. Kata-kata yang keluar dari pernyataan-pernyataan petugas medis tersebut menyebabkan pasien menjadi lebih down dan tidak bersemangat untuk mencari kesembuhan.
Hingga akhirnya pada tahun 2011 ini, pasien kembali memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit kecil di pinggiran kota karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit di perutnya. Dan apa yang ditemukan...........?!!!???? benjolan yang mulanya sebesar biji kacang tersebut sekarang telah menjadi besar sebesar kepala manusia dewasa, dan terkadang keluar cairan serta feces yang berbau busuk. Namun demikian pasien tampak menerima dengan kondisi penyakitnya, yang masih dikelukan adalah rasa kecewa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari petugas kesehatan yang membuat perasaan pasien menjadi jatuh, dan tertekan.
Terkadang pasien sedih, menangis, terkadang bicara sendiri, terkadang terganggu memorinya, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan kekecewaan yang ada pada diri pasien.

Ajining diri seka lathi lan budhi.... Omong bener lan pener....

Sedikit salah kata yang diucapkan bisa menjadi pemicu gangguan perasaan di kemudian hari. Tidak ada salahnya memperbaiki komunikasi baik dari isi maupun cara penyampaiannya. Apalagi masalah-masalah yang sensitif.


Salam Sehat Jiwa

No comments: